Setelah catatan sebelumnya tentang kenekadan dalam membeli rumah, ada beberapa teman bertanya tentang hal pertama yang harus dilakukan biar rumah idaman tidak sebatas angan-angan. Lewat ngobrol dengan beberapa teman, terinspirasi untuk menulis ulang hal-hal yang kemarin kami bahas. Jadi, aku membayar hutang semangat melalui catatan ini. Tidak ada maksud untuk pamer, semata ingin berbagi optimisme dan semangat. Karena bagaimana pun juga, semangat dan optimisme itu menular, kawan. Catatan ini ditujukan untuk kalian yang sedang berjuang sendiri membeli rumah pertama, tidak dibelikan oleh orang tua atau nunggu warisan juga untuk kamu yang baru masuk dunia kerja.
Pembuka
Well, di semua negara yang namanya rumah selalu jadi masalah besar karena ssalah satu kebutuhan primer. Kamu tidak sendiri, banyak pasangan yang tidak mampu beli rumah atau memilih menyewa dulu untuk sementara sambil menunggu orang tuanya meninggal. Dapet rumah warisan orang tua. Ini banyak terjadi di Italia, dimana selain karena mahalnya harga rumah, umumnya keluarga di Italia memiliki anak cuma 1 atau 2 orang saja. Tapi bagaimana dengan kita-kita yang memang harus mengusahakan sendiri membeli rumah karena orang tua tidak punya warisan untuk kita? Atau, orang tua bakal mewariskan rumah tapi kita kakak beradik dalam jumlah banyak? Mau tidak mau, kita harus usaha sendiri, syukur-syukur keluarga bisa bantuin DP. Untuk itu, selain duit, ada beberapa hal yang harus disiapkan, yakni ;
1. Niat
Niat adalah atribut pertama yang harus dimiliki kalau pengen beli rumah. Tanya dalam hati, pengen aja atau pengen banget punya rumah? Beda niat, beda pula hasilnya. Biasanya, ada aja kendala dalam berburu rumah. Umumnya kendala mucul saat menyatukan antara keinginan, kemampuan dan kenyataan di lapangan.
Ada rumah yang cocok dengan budget, tapi lokasinya jauh dari tempat kerja. Harus naik turun gunung dan melewati lembah, baru bertemu feeder bus. Sampai kantor bisa-bisa tinggal narik selimut. Tidur karena kecapean. Bisa jadi kendalanya pengembang yang nakal. Yang ga kalah tragis, rumahnya uda sesuai budget, lokasi prima dekat dengan tempat kerja, desain seperti yang diinginkan, eh tapi eh tapi pengajuan KPR ditolak. Mak jleb! Ini juga tragis. Karena itu, niat memang benar-benar harus mantap bakal menjalani rintangan yang ada.
2. Mohon Doa Restu pada Keluarga
Mau lajang atau udah berkeluarga, sebaiknya minta restu pada orang tua dan mertua. Sampai sekarang, kami masih menempuh cara ini. Doanya orang tua itu mak nyuss. Mereka akan memberikan semangat dan doa yang luar biasa banyaknya. Syukur-syukur kalo mereka bisa ngasih bantuan dana juga. 😉 😉
Terutama untuk kita orang Indonesia, urusan rumah tinggal anak kadang masih menjadi tanggung jawab orang tua, paling tidak secara moril. Karena itu, mereka akan senang bila dilibatkan dalam hal ini. Jangan kaget kalau tiba-tiba ibu rela sampai jual perhiasannya demi membantu anaknya membeli rumah. Mereka juga akan senang dimintai pendapat, malah seringnya sih kasih pendapat walau tanpa diminta. Itu salah satu bentuk rasa bangga orang tua terhadap anaknya. Mereka juga bakal paling heboh diajak hunting rumah. Kondisi ini berlaku kalau lokasi yang kita incar berdekatan dengan tempat tinggal orang tua.
Melepas anak hidup mandiri salah satu fase terpenting dalam hidup orang tua. Kalau film silat, orang tua akan terisak-isak melepas anaknya yang akan berangkat dengan membawa tongkat dan gembolan. (Eh, apa itu gembolan?). Doa restu juga semacam alarm bahwa bakal ada perubahan gaya hidup (keuangan) dalam keluarga besar kita.
3. Action and action and action
Dari nomer 3 dan seterusnya merupakan langkah lain yang harus dilakukan. Niat udah ada, doa restu dari keluarga juga uda dapat. Lalu apa lagi? Ke KUA (eh?). Take an action. Orang mau makan aja harus pakai niat apalagi untuk beli rumah. Harus melakukan tindakan konkrit, misalnya;
4. Tetapkan Kapan Harus Membeli Rumah
Ini penting karena berkaitan langsung dengan rencana kehidupan kamu selanjutnya. Misalkan, 2 tahun lagi kamu akan menikahi si dia yang notabene rumah dicari lokasinya memiliki akses yang baik dengan tempat kerja kalian. Menetapkan waktu kapan membeli rumah juga berkenaan dengan metode pengumpulan dana. Kalau kamu yang baca ini kebetulan baru bekerja, itu bagus banget. Artinya, kamu udah mulai memikirkan hendak dikemanakan gajimu.
Banyak diantara kita yang masa mudanya tidak hati-hati dalam mengelola penghasilan sehingga gaji numpang lewat saja, terutama yang masih lajang. Padahal lajang dan belum banyak tanggungan adalah golden periode untuk membeli rumah. Masa muda memang baik untuk dinikmati, terutama saat kita punya gaji sendiri. Tapi saking nikmatnya, kita jarang belajar untuk investasi.
Kesalahan semata bukan pada anak. Biasanya orang tua tidak mengedukasi anaknya untuk membeli rumah sendiri. Perasaan sungkan meminta anak untuk mencari rumah sendiri, karena seakan mengusir anak dari rumah. Kebutuhan rumah akan terasa saat anak akan menikah. Atau, urgensinya berbicara saat anggota keluarga bertambah karena kelahiran cucu atau anak lain menikah dan juga tinggal bersama orang tua.
Nah, setelah membaca tulisan ini, coba periksa saldo tabungan dan bandingkan dengan penghasilan. Kalau ternyata saldo tabungan terlalu sedikit dibandingkan dengan penghasilanmu yang besar, mungkin harus mengedit pengeluaran kamu selama ini. Bisa jadi gaya hidup diubah sedikit. Dari yang tadinya tiap weekend makan, nonton dan belanja di luar, mungkin bisa dikurangi jadi sebulan sekali saja. Itu pun persentase alokasi dana harus ditekan dan harus mau disiplin mematuhi pos yang sudah dianggarkan. Mengubah gaya hidup yang enak memang butuh pengorbanan dan biasanya bikin pengen nangis. Tapi balik lagi ke niat, temans.
5. Cari Penghasilan Tambahan dan Investasikan
Sudah membandingkan antara saldo, penghasilan dan pengeluaran setiap bulan? Kendalanya dimana? Oh, ternyata karena masih membantu keluarga jadi sulit menyisihkan dana. Cari pekerjaan sampingan. Bisa bikin kue, jadi guide atau guru les, pelatih fitness, jadi broker dan lain-lain. Apapun itu yang penting halal. Nah, kalau ada penghasilan tambahan, jangan tergiur ya melihat big sale.
Coba belajar investasi sesuai dengan kepribadian kamu. Kalau aku masih tipe konservatif, paling banter dibeliin emas. Kalau tiba waktunya, baru dilego. Eh untukku sih, emas bukan investasi, karena aku tidak bermain di ranah beli saat murah dan jual saat tinggi tapi untuk menjaga dana tidak tergerus inflasi. Daripada dana ditaro di bank… 😉
6. Tetapkan Model Rumah Impianmu
Aku percaya, apa yang kita fikirkan maka itulah yang terjadi, kurang lebih sih…. Seperti self motivation. Coba gambarkan rumah impian kamu, tentu saja harus serealistis dan sesuai kebutuhan serta kemampuan. Maksudnya gini, kamu pegawai kantoran yang gawe di daerah Kuningan, Jakarta dengan penghasilan sekitar 5-7 juta/bulan, yang sedang mendambakan rumah di pusat kota dengan halaman luas. Apakah keinginan ini realistis? Tentu tidak. Coba cek harga rumah dengan halaman yang luas di pusat kota. Dengan penghasilan 7 juta/bulan, maka akan didapat bahwa total (maksimum) angsuran adalah 30 % dari gaji atau sekitar 2,1 juta/bulan. Nah, kira-kira dapet ga ya rumah di pusat kota dengan angsuran 2,1 juta per bulan?
Catat ya, total maksimal angsuran termasuk untuk rumah adalah 30 % dari pendapatanmu. Angka ini bukan cuma untuk angsuran rumah saja, tapi untuk seluruh angsuranmu, baik kartu kredit, motor, pinjaman tanpa agunan. Jadi, kalau kamu berencana mengambil KPR, pastikan sudah tidak punya cicilan panci, hape, CC, motor dan lain sebagainya. Buat schedule kapan melunasi pinjaman-pinjaman yang ada dan kapan harus mengajukan KPR. Deal yaaaa… *jabat tangan.
Gambarkan, gambarkan, gambarkan rumah impianmu. Kalo masih belum bisa detail, gambaran kasarnya juga ga apa-apa. Misal, pengen rumah tinggal di Depok karena akses transportasinya mudah, 2 kamar tidur dengan harga maksimal 300 juta. Mencari rumah dengan syarat yang jelas akan membuat proses pencarian lebih mudah, termasuk metode pengumpulan dananya.
7. Tidak bank-able, lalu Bagaimana?
Sebagian besar rumah tinggal dibeli dengan cara KPR (Kredit Perumahan Rakyat) yang tentunya memiliki syarat-syarat khusus. Untuk calon debitur, biasanya dibutuhkan SK pengangkatan pegawai (ada beberapa bank mensyaratkan minimal 2 tahun telah bekerja), slip gaji 3 bulan terakhir dan rekening koran 3 bulan terakhir, selain dokumen KTP, KK, NPWP dan surat nikah bagi yang telah menikah. Tidak masuk Daftah Hitam Bank Indonesia. Ini istilah untuk teman-teman properti untuk seseorang yang masih punya masalah kredit macet. Cek ke Bank Indonesia, semoga namamu tidak masuk daftar ini.
Sedangkan untuk rumah yang akan diajukan biasanya harus memiliki legalitas yang lengkap (sertifikat dan IMB), bebas banjir dengan jalan bagian depan harus bisa dilalui 2 mobil (untuk lokasi khusus, bank mengijinkan bila jalan depan hanya dilalui 1 mobil). Tentu saja kita semua tidak memiliki kondisi yang sama. Aku salah satu yang tidak bank-able karena bekerja di LN. Makanya sampai sekarang cuma bisa nyicil langsung ke developer, bukan KPR. Atau kalau kamu ternyata ribet masalah administrasi karena tidak punya SK pegawai, mungkin bisa beli tanah dulu, setelah itu ngumpulin lagi duit untuk membangun rumah. Mungkin rumah yang kamu butuhkan ternyata di dalam gang dan tidak memenuhi syarat bank pemberi KPR, coba nego dengan pemilik rumah mengenai metode pembayarannya. Intinya, walau membeli rumah membutuhkan pertimbangan yang masak, tapi kita harus fleksibel juga.
8. Kunjungi Dinas Tata Kota
Masih ragu dengan lokasi yang ditawarkan oleh pengembang? Coba berkunjung ke Dinas Tata Kota setempat. Tanyakan rencana pembangunan jangka menengah dan panjang lokasi tersebut. Dengan informasi yang lengkap, akan memudahkan kita mengambil keputusan. Sekitar 9 tahun lalu, Bantul terutama daerah Sedayu, bukan daerah favorit untuk rumah tinggal. Konsumen masih terfokus daerah kota Yogya dan Sleman yang lingkungannya sudah terbentuk. Tapi pas tau kelak bandara dipindah ke Kulonprogo, maka kita yakin bahwa Bantul akan berkembang pesat. Jalan Wates merupakan jalur alternatif menuju bandara Kulonprogo. Sampai sekarang juga merupakan jalur bus antar provinsi. 9 tahun lalu belum begitu banyak perumahan di daerah Sedayu. Berbeda dengan saat ini, mulai dari rumah subsidi hingga perumahan Ciputra ada di sini.
9. Edukasi
Point terakhir ini tidak berhubungan langsung dengan proses pencarian rumah saat ini, namun menurutku penting juga untuk disiapkan. Jangan lupa mengedukasi anak-anak kita tentang investasi dan hidup mandiri, salah satunya mendorong anak-anak kita memiliki rumah sendiri. Beberapa tahun terakhir, hal ini sudah kita lakukan pada Tony (sebagai keponakan tertua yang tinggal di rumah). Misalnya, alasan memilih investasi di properti karena bisa disewakan dan kalau dijual bisa dapat keuntungan (selisih harga beli dan jual). Kita juga mendorong anak-anak untuk hidup sederhana. Untungnya anak-anak faham kondisi tantenya yang tidak selalu punya dana lebih tiap bulannya karena bayar cicilan rumah.
Penutup
Ini masih sambungan dari edukasi pada point no. 9. Pada akhirnya, keluarga akan beradaptasi, belajar dan membuat ritme sendiri tentang bagaimana harus survive saat pemasukan berkurang karena membayar cicilan rumah.
Dulu sewaktu mereka kecil, aku lumayan tajir memberi kado atau sejenisnya. Sekarang hal itu sudah tidak berlaku lagi. Kita mencoba membentuk mereka semandiri mungkin. Untuk kebutuhan pribadi (mainan, buku bacaan, pulsa, parfum, gitar dan lain-lain), mereka harus membeli sendiri dengan menyisihkan uang jajannya. Bila ada kegiatan yang membutuhkan biaya agak besar, kita meminta mereka menabung jauh-jauh hari. Kebiasaan nabung ini sering menyelamatkan keuangan keluarga, terutama saat tahun ajaran baru. Bila tabungan mereka sudah lumayan namun tidak ada kebutuhan mendesak, biasanya kita patungan untuk membeli emas. Kelak, emas ini kita pakai untuk nambah DP rumah. Begitu seterusnya. Dengan bahasa yang mudah difahami mereka, kita juga menanamkan mereka untuk memprioritaskan membeli rumah saat mereka memiliki penghasilan sendiri.
Karena nominal tabungan sekitar 1.000 hingga 2.000 rupiah per anak tiap harinya, tentu jumlahnya tidak seberapa. Tapi kegiatan ini mengajarkan anak-anak untuk membuat perencanaan terhadap penghasilan eh uang jajan mereka. Misalnya, suatu hari Uih ingin memiliki sebuah Ukulele yang harganya sekitar 75.000 hingga 90.000. Dengan menabung sekitar 1.000 hingga 2.000 rupiah per hari, Uih memiliki gambaran kapan bisa memiliki Ukulele yang dimaksud. Untuk mendapatkan harga terbaik, melalui internet mereka membandingkan harga Ukulele.
Aku dan Mas Ipung bertekad tidak akan memanjakan anak dengan materi, melainkan dengan membentuk mental mereka. Proyek terbaru saat ini adalah Liburan ke Jogja pada bulan Februari yang akan datang. Ongkos kereta api bayar masing-masing dengan cara ngumpulin uang jajan dari beberapa bulan yang lalu. Ibuku pintar membuat proyek ini menjadi semakin menarik. Setiap hari (sebelum berangkat sekolah), anak-anak wajib memasukan sebagian uang jajan mereka ke celengan bersama. Ada kartu setoran yang berisi tanggal dan jumlah setoran tiap anak.
Kesepakatannya adalah, jika tabungan tidak memadai untuk semua anak, maka tidak jadi berangkat ke Jogja. Efeknya sungguh luar biasa. Mereka saling support untuk bisa nabung sebanyak-banyaknya. Lebih tahan banting dan tidak mudah ngiler liat teman-temannya punya duit jajan lebih banyak. Mereka juga makan lebih lahap di rumah. Pola dan cara yang sama bisa diterapkan untuk tujuan keuangan yang lain, salah satunya membeli rumah.
Kiranya itu point-point yang harus disiapkan dalam memiliki rumah impian. Semoga catatan ini bermanfaat dan mohon maaf bila ada salah-salah kata. Semoga semakin semangat ya mewujudkan rumah impian.
Salam hangat,
Lintasophia