Nasionalisme Lewat Indomie

Beberapa tahun lalu, Indomie merupakan barang langka di sini.  Kalaupun ada, itu pun jarang-jarang dan varian rasa tidak semua tersedia.  Untuk orang Asia, terutama orang Indonesia yang merantau di luar negeri, Indomie bagai dewa penyelamat saat kantong kering (baca : belum gajian) atau sudah sangat lapar tapi tidak sempat masak.  Maka, tidak berlebihan kiranya bila aku menyebut Indomie sebagai P3K (Pertolongan Pertama Pada saat Kelaparan).

Aku lupa, kapan persisnya Indomie ekspansi sampai Genova.  Seingatku, untuk beberapa tahun kami terpaksa makan mie China (sebutan mie instant selain Indomie).  Hingga suatu hari tiba-tiba Indomie nangkring manis di rak salah satu Asian Store.  Kita happy dong, meski harus kuakuin rasa Indomie yang beredar di sini tidak seenak Indomie yang biasa kita makan di Indonesia.  Indomie di sini cuma asin doang, minim rasa rempahnya.  Ga spesifiklah nikmatnya.  Tapi ga mengapa, segitu juga kita udah seneng kok.   Ga ada lagi cerita tiap balik ke Genova harus isi koper dengan Indomie aneka rasa.

Suatu hari aku lagi ngantri di kasir dengan membawa beberapa bungkus Indomie.  Di depanku juga sedang ngantri seorang pria kulit hitam.  Sama, dia juga membawa banyak Indomie siap bayar.  Belanjaan kami sama persis ;D.

Suasana toko yang penuh membuat aku dan pria di depanku beberapa kali bersentuhan.  Ia melihat ke arahku sambil minta maaf, aku mengangguk hingga pandangannya tertumbuk pada belanjaanku.  Indomie.

”Kamu juga suka makan mie itu?”  Ia bertanya sambil mengisyaratkan Indomie yang kubawa.  Aku menggangguk.

”Aku juga,” katanya sambil mengangkat belanjaannya.  Ini salah satu produk terbaik kami, ia menambahkan.

”Dari mana?”  tanyaku.

”Nigeria.” jawabnya.

”Dari mana?” Ulangku

”Nigeria.”  Jawabnya sambil menjelaskan cara memasak Indomie dengan baik dan benar, termasuk opsi menambahkan daging, telur dan cabai bila suka.  Aku  menggeleng,

”Itu tidak benar,  Indomie itu dari Indonesia.” Aku meluruskan informasinya.  Eh dia ga terima.  Kang Mas malah cerita dengan suara berapi-api kalo Nigeria punya pabrik Indomie, terbesar di Afrika.  Produknya kualitas export hingga Eropa.  Sebagaimana khasnya orang Afrika kalau bicara suaranya kenceng dan to the point, berhasil menyulut emosiku ampe ke ubun-ubun.  Nasionalismeku langsung mengalir keras di seluruh pembuluh darahku.  Bela Indonesia.

”Eh denger ya, mas!  Begitu aku ga minum air susu ibu lagi, makanan pertamaku itu Indomie.  Seluruh dunia pun tau kalo Indomie itu dari Indonesia!”  kataku sengit.

”Itu mie yang lain kali.”  katanya.  Eh buset dah, nih orang makin semena-mena.  Ga tau aja nih orang kalo dulu orang tuaku punya warung makan dan jualan Indomie juga.  Jadi, aku tahu pasti mana Indomie dan yang bukan.

”Gini ya, sejak kecil aku uda makan Indomie,  ya sama seperti Indomie yang kamu pegang sekarang ini.  Jadi, berhenti ngaku-ngaku kalo Indomie itu dari Nigeria.  Indomie itu made in Indonesia.”  Aku menunjukan sikap tidak mau melanjutkan perdebatan dan mengalihkan padangan ke arah yang lain.*ngambek.

Tiba-tiba dia meletakan keranjang belanjanya di meja dan mengambil sebungkus Indomie lalu membolak-baliknya.  Dia mencolek bahuku.

”Liat nih, produce in Nigeria.”  Jarinya menunjuk kuat-kuat pada sebaris tulisan di kemasan Indomie.  Aku cuma melirik ga minat.  *masih ngambek.  Eh dia malah menyodorkan lebih dekat lagi. Aku mengambil Indomienya dan membaca lekat-lekat.   Benar saja, di kemasan ada 2 baris kalimat cetak tebal (kalau tidak salah ingat);

PT. Indofood Sukses Makmur T.b.k (Indonesia)

Produced in Nigeria

Kampret, kalah telak aku.  Sesungguhnya, itu baru pertama kali aku baca kemasan Indomie yang edar di sini.  Biasanya cuma fokus pada varian rasa dan tanggal kadaluarsa.

”Permisi, giliranku.  Aku mau bayar Indomie made in Nigeria.”   katanya sambil mengambil Indomie milik dia dari tanganku.  Aku mengangguk sambil memandangi lantai.

Salam,

 

Lintasophia